Senin, 24 Oktober 2011

Romantisme-ilusi => Kritisme-f

Ini cerita bukan sekadar cerita. Ini penuh dengan romantika kehidupan, tapi bukan hanya sekadar romantisme kesadaran palsu, ataupun romantisme ilusi lho. Ini semua cerita indahnya kita para pemilik mimpi dan cita-cita besar, ciee. Mungkin tidak semua orang bisa mengerti, tapi ya lah tidak ada salahnya kawan kalian membaca coretan ini. Aku ingin mengatakan bahwa ini adalah sebuah tulisan, tapi beh malunya minta ampun kalau aku mesti bilang ini sebuah karya, ssst masalahnya adalah salah satu tokoh dalam cerita ini seorang penulis besar men! Penulis besar! Nanti akan aku ceritakan belakangan. Well, mari kita simak.
Berawal dari sebuah cita-cita besar dan loyalitas mahatinggi yang dimiliki oleh seorang kakak kelas kita, Susan Agustin, yang setiap saat selalu mencekoki kita semua untuk ikut simposium nasional di UGM, akhirnya kita pun terpedaya oleh semua rayuannya. Cus.. berangkatlah kita dengan persiapan cukup matang, dengan berbekal seorang filsuf yang dengan sengaja dibawa untuk menyerang acara itu, kitapun melangkah maju.

Senin, 17 Oktober 2011

Tulisan Pertama Anak Magang

Merdeka, seperti apa?
Oleh : Srie Mustika Rahayu
Kemerdekaan bukan saja ketika merah putih mampu berkibar,
namun ketika penindasan tak lagi berkobar
Anak kecil itu manis. Senyumnya cukup menawan walau sang kotor telah mengkhianatinya. Telapak tangannya menghadap ke atas, dengan wajah yang penuh coreng, lirih ia berbisik, “Mbak, minta uang mbak..”
Di taman kota. Pemandangan seperti ini menjadi hal yang terlalu biasa bagi mata kita. Ada yang lainnya. Begitu banyak malah. Miris menjadi perasaan yang begitu klise. Ini baru di satu kota. Entah berapa banyak lagi anak-anak yang seperti dia di belahan bumi yang lainnya. Tak perlu jauh-jauh, Indonesia saja. Betapa untuk menghitungnya pun rasanya butuh kesabaran yang luar biasa. Bagaimana bisa anak-anak sekecil itu sudah dididik untuk meminta-minta? Disaat seharusnya mereka duduk manis di kelas, memperhatikan guru mengajar, bermain dengan lincahnya, mereka malah berada di jalanan yang panas, beralaskan kulit telapak kaki. Dimana orang tuanya ketika itu?
            Negeri ini tampaknya belum mampu mewujudkan cita-citanya. Apa yang tercantum dalam undang-undang dasar 1945 sepertinya masih jauh dari kata ‘tercapai’. Merdeka, dimana realisasinya ketika masih ada penjajahan terhadap budaya, ideologi dan identitas bangsa? Bersatu, banggakah bangsa ini disebut sebagai bangsa yang bersatu sementara masyarakatnya apatis, satu sama lain saling menjatuhkan? Berdaulat, kedaulatan seperti apa yang selama ini disajikan oleh para penguasa? Adil, pantaskah negeri ini berbicara tentang keadilan sedang banyak warga Negara yang tidak mendapatkan pekerjaan yang layak dan pendidikan yang tinggi? Makmur, bisakah kita melihat kemakmuran di negeri ini ketika rakyat yang miskin dan kelaparan semakin bertambah jumlahnya?
            Lalu apa artinya semua yang selama ini mereka dengungkan? Apakah para wakil rakyat itu sudah menjalankan fungsinya dengan baik? Benarkah mereka betul-betul memikirkan rakyat? Apa hanya untuk menyejahterakan diri mereka sendiri? Lantas kemana lagi rakyat yang dirampas haknya harus meminta keadilan? Pada siapa lagi mereka mengadukan perlakuan yang mereka terima dari tanah air mereka sendiri? Bukankah ibu pertiwi akan marah melihat negerinya ini?
            Ada begitu banyak orang yang berteriak atas nasib mereka yang tertindas, namun lebih banyak pula yang bersikap acuh tak acuh. Apa jadinya bangsa ini ketika sudah tidak ada lagi kepedulian disini? Bangsa yang selalu bangga dengan demokrasinya. Bangsa yang ‘katanya’ menjunjung tinggi hak asasi manusia. Bukankah pantas kita mempertanyakan perwujudan dari dasar negara kita? Jika kita flashback ke belakang, tentang bagaimana rumitnya para pendahulu kita merumuskan dasar Negara dengan begitu beragamnya ide dan pemikiran, maka sangat mustahil kita tega mengingkarinya. Mengambil salah satu sila dari dasar Negara yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, rasanya masih perlu perjuangan yang berat untuk dapat mencapainya.
Realistis saja, kita sendiripun masih selalu bingung jika ditanya tentang keadilan. Merasa sudah adilkah kita ketika bergumul dengan kegiatan kampus, berkutat dengan tugas-tugas, asyik menjalani kehidupan sebagai seorang ‘mahasiswa’, sementara di luar sana ribuan bahkan jutaan anak seusia kita hanya mampu melakukan semua itu dalam mimpinya? Lebih tragis lagi anak-anak yang bahkan untuk bermimpi sajapun mereka tak mampu.
            Maka, dapatkah sekarang kita mengatakan bahwa Negara kita sudah merdeka? Merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kebodohan, merdeka dari penjajahan? Belum kawan. Kita belum merdeka. Leluhur kita Jenderal Soedirman pernah berkata, “Lebih baik dihujani bom atom, daripada merdeka kurang dari 100%”. Menjadi tugas kitalah sekarang sebagai seorang pemuda tunas bangsa untuk memerdekakan bangsa ini. Melanjutkan perjuangan para pahlawan kita, tanpa darah dan senjata lagi.
Tugas para pahlawan dahulu adalah mudah, hanya mengusir penjajah. Tugas kitalah sebagai generasi penerus yang tak mudah, yakni mempertahankannya. Begitulah Soekarno pernah mengungkapkannya. Jadikan bangsa ini sebagai bangsa yang merdeka dalam substansi yang sesungguhnya. Jika Soekarno bisa mengatakan, “100 orang tua hanya bisa bermimpi, 1 orang pemuda bisa merubah dunia”, maka apa alasan kita untuk tidak percaya pada kekuatan kita sebagai seorang pemuda??
            Jangan pernah membiarkan penjajah memasuki tanah air ini. Jangan biarkan merah putih terluka lagi. Jangan biarkan identitas kita dijajah, budaya kita dijarah.
“Mereka tidak dapat mengambil harga diri kita kalau kita tidak memberikannya kepada mereka” –Mahatma Gandhi-