Selasa, 17 April 2012

Kejamnya Persepsi Sakit, Sebuah Keterasingan Peran Sosial

“Bukan penyakit ini yang membuat kami sangat menderita, namun justru stigma masyarakat-lah yang membunuh kami..” (ODHA-Orang Dengan HIV AIDS)

AIDS. Menyeramkan rasanya mendengar sejumput kata ini. Entah darimana asalnya. Faktanya saat ini AIDS merupakan salah satu penyakit yang ditakuti sepanjang masa. Begitupun dengan disleksia, penyakit yang sebagian besar orang menganggap pengidapnya adalah orang aneh dan sakit jiwa hingga tak pantas untuk dijadikan teman. Sama halnya dengan penyakit yang sangat dianggap memalukan yaitu kusta, berapa banyak penderita kusta yang telah dibuang dan dijauhkan dari keluarganya sendiri. Takut. Semua orang merasa ketakutan. Para penderitanya diasingkan, bahkan dikucilkan.
Para penderita penyakit seringkali dianggap mengerikan oleh sebagian besar orang, hingga pada akhirnya timbul semacam diskriminasi terhadap kelompok  yang seharusnya didekati dan diselamatkan ini. Seperti yang diungkap oleh salah satu ODHA yang saat itu ditemui dalam sebuah seminar Peningkatan Kapasitas Ibu Rumah Tangga dan Remaja dalam Upaya Pencegahan HIV AIDS yang diselenggarakan oleh LPPM Unsoed, “Bukan penyakit ini yang membuat kami sangat menderita, justru stigma dari masyarakat-lah yang membunuh kami..”  betapa kata yang ia gunakan untuk menggambarkan bagaimana dampak stigma terhadap diri mereka begitu luar biasa. ‘Membunuh’, memang sudah tepat untuk menggambarkannya. Toh tanpa pandangan masyarakat pun lama-lama mereka tetap akan terbunuh, dan masyarakat telah membantu untuk tak hanya membunuh mereka secara fisik, namun juga peran dan status mereka dalam kehidupan sosial.
Fakta ini mungkin bisa menyadarkan kita, bahwa selama ini tidak pernah terpikir oleh kita untuk merangkulnya dan memberikan motivasi serta semangat, padahal justru itulah yang sangat mereka butuhkan. Hal itu tampaknya sudah menjadi hal yang biasa dan seakan tidak perlu diresahkan lagi. Lebih jauh dari itu, nampaknya hanya sedikit sekali yang masih peduli untuk memikirkan orang-orang tersebut. Nyaris bisa dihitung oleh jari. Kebanyakan masyarakat lebih suka menganggap mereka tidak ada. Justru disinilah letak kesalahan yang bisa menimbulkan kerusakan nilai dalam sistem masyarakat.
Sakit dan sehat itu hanya soal persepsi. Perilaku sehat diperlihatkan oleh individu-individu yang merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu mereka betul-betul sehat, begitupun sebaliknya. Orang yang sakit tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya di lingkungan kerja dan keluarganya sehingga fungsinya itu harus digantikan oleh orang lain. Kadang-kadang peranan orang yang sakit itu sedemikian luasnya sehingga peranan yang ditinggalkannya itu tidak cukup digantikan oleh satu orang saja melainkan harus beberapa orang. Padahal orang yang berpenyakit, belum tentu orang sakit dan belum tentu mengakibatkan perubahan perannya dalam masyarakat. (Notoatmodjo & Sarwono, 1986)
“Kami mohon, jangan asingkan kami, jangan anggap kami lain..” inilah teriakan hati para penderita aids, disleksia, kusta, sakit jiwa, dsb. Ternyata sang penderita pun bisa merasakan bahwa dirinya telah dianggap ‘berbeda’, dan tendensi negatif telah melekat ke dalam diri mereka. Bagaimana seorang pengidap HV AIDS dikucilkan dan dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitarnya, bagaimana si penderita disleksia yang sudah sulit dalam kemampuannya memahami tulisan harus disulitkan pula dalam memahami mengapa orang-orang enggan bergaul dengan dirinya, mengapa orang tuanya tidak mampu memahami kekurangannya, mengapa malah ia dianggap bodoh dan idiot oleh semua orang di sekelilingnya, bagaimana ia harus tertekan oleh semua sikap yang menjauhkannya dari akal sehat. Lalu bagaimana si pemilik kusta harus hidup sendirian demi orang-orang sekitarnya tidak tertular olehnya, bagaimana ia harus mengorbankan diri dan usaha kesembuhannya demi supaya tidak banyak lagi orang ‘menjelma’ seperti dirinya, padahal ia mampu keluar dari jerat penyiksaan terhadap mentalnya jika saja orang-orang mampu menerimanya dengan tangan terbuka dan menganggapnya sama, sehingga besar kemungkinan ia mampu memiliki semangat berjuang untuk sembuh. Masih ada lagi seorang yang mengalami gangguan kesehatan jiwa, yang kebanyakan orang lebih senang menyebutnya ‘gila’. Bagaimana ia hidup telah betul-betul dilepaskan dari peran sosialnya. Dianggap gila, sinting, edan, dan semacamnya,  benar-benar divonis tidak mampu melakukan apapun layaknya orang sehat, dan tidak pantas menerima perlakuan lazimnya si sehat. Seringkali kita lihat bagaimana seorang sakit jiwa itu ditakuti, dianggap sampah. Hal ini juga tidak lepas dari peran media. Di media kerap digambarkan orang dengan masalah kejiwaan atau yang menderita skizofrenia secara salah, seperti menyebutnya orang gila. Dalam media penyiaran televisi mereka sering digambarkan sebagai pribadi yang kacau, berbahaya, dan perlu disingkirkan dari kehidupan sosial. (Kompas.com. )
Dari penggunaan istilah gila, sinting, edan, dan semacamnya saja sudah dapat terlihat stigma negatif sebagai contoh yang paling mudahnya. Padahal sebenarnya masyarakat mampu memperlakukan orang-orang ini dengan lebih baik.  Apabila opini publik yang terbentuk tidak seperti yang sudah tampak di masyarakat, sebagai contoh sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kalikarang, Purbalingga terhadap Jatru, salah seorang yang mengalami masalah kejiwaan disebabkan tidak mampu melanjutkan sekolah karena faktor ekonomi, masyarakat di sekitarnya tidak ia menganggapnya orang gila, tidak ada perspektif buruk terhadap kegilaan terhadap apa yang dialami Jatru, sehingga Jatru hidup berkumpul dan bermasyarakat seperti yang lainnya, tidak ada yang memandangnya sebagai orang aneh dan semacamnya, hingga akhirnya ia pun mampu bekerja dan menjalankan peran sosial layaknya orang yang tidak memiliki masalah kejiwaan apapun, bahkan ia sanggup membantu masyarakat sama halnya seperti orang-orang sehat lainnya.
Dari sinilah mari berbicara seandainya, untuk pengidap HIV, seandainya saat itu memang dirinya betul-betul terkena virus HIV namun ia belum mengetahuinya dan tidak ada seorang pun yang tahu, akankah ia mendapat perlakuan semacam itu? Jawabannya tidak. Orang masih akan tetap menganggapnya sama dengan yang lain dan menjadi bagian dari masyarakat. Ia tetap bisa menjalankan peran sosial sebagaimana mestinya. Karena tidak tampak bedanya ia dengan orang orang lainnya. Namun berbeda ketika masyarakat tahu bahwa ia seseorang yang ‘sakit’ HIV, apa yang akan terjadi? Perlahan, ia dilepaskan dari peran sosialnya sendiri. Yang membuat ‘beda’ itu justru adalah masyarakat. Orang yang menilainya, bukan dirinya sendiri. Namun karena orang di luar sana telah memandang ia sedemikian rupa mau tidak mau timbul perasaan yang sama mengira bahwa dirinya berbeda dan telah menjadi lain dari orang-orang di sekitarnya.  Bagaimana bisa? Karena masyarakat disana sini memandang HIV AIDS itu lain, orang disleksia itu berbeda, penderita kusta itu bukan bagian mereka. Begitulah cara pandang masyarakat. Persepsi. Lagi-lagi ini hanya masalah persepsi. Sesuatu yang sebetulnya tidak ada.
Padahal banyak orang yang sakit namun tetap melakukan peran sosial layaknya orang-orang sehat pada umumnya. Mari kita tanya Che guevara, Che adalah seorang pengidap asma akut, namun lihat bagaimana Che tetap berjuang bahkan melebihi orang yang sehat sekali pun. Kita coba sapa panglima kebanggaan kita, Jenderal Soedirman, bahkan dalam keadaan sakit paru-paru yang parah pun ia tetap dengan gagah berani bergerilya menghadapi musuh-musuh bebuyutan negara ini demi kebebasan rakyat, demi merdekanya bangsa.
Dapatkah terlihat adanya pembeda disana, orang sakit pun mampu melakukan hal bahkan di atas rata-rata orang yang ‘katanya’ sehat. Saat orang-orang itu mampu melakukan hal lebih, mengapa justru peran mereka yang dihancurkan? Kesempatan yang seharusnya diberikan kepada mereka seluas-luasnya justru dirampas oleh sebuah vonis  ‘tidak layak’.
 Justru dengan adanya justifikasi semacam itu, mereka semakin merasa dijauhkan dari peran sosial yang seharusnya mereka jalankan. Haruskah mereka teralienasi dari kehidupan yang sewajarnya didapatkan?

*SMR

Senin, 09 April 2012

In my 20th

10 Maret 2012
Menjelang hari dimana aku tidak ingin segera melewatinya. Dalam kesendirian. Dalam kesepian. Aku ingin segera mengucapkan selamat tinggal. Atau selamat jalan. Tahun ke-20. Dimana 19 tahun aku masih mendapatkan do’a-do’a darinya, dan sekedar ucapan sederhana, atau bahkan uang saku untukku membeli kado ulang tahun sesukaku. Namun hari esok, saat menginjak bilangan setelah angka 19, aku harus tidak mendapatkannya. Kata pantas, mungkin cocok untuk menggambarkan perasaanku esok.
Aku sudah berusaha, menghindari kesedihanku harus terbit esok hari. Maka aku memikirkan untuk mengikuti kegiatan anak-anak himpunan Kuningan. Agar lupa aku pada lara. Agar tak sulit untuk menemukan pelipurnya. Aku tidak bisa tanpa kesedihan jika tidak disibukkan. Aku tercenung. Termenung sendiri. Jika sudah begitu, aku merasa akan gila. Pikiran demi pikiran kusut terus mendaki otakku. Apa yang akan dikatakan orang-orang? Ayu si lembek. Ayu si galau. Atau bahkan, ayu yang sok yes.  Tapi demi Tuhan, apapun yang mereka katakan aku tidak peduli. Bukan aku ingin diperhatikan. Sungguh, aku berani bersumpah AKU TIDAK SEDANG BERUSAHA MENCARI PERHATIAN, atau katakanlah apapun itu. Kadang aku tidak bisa mengerti mengapa orang menganggap aku hanya sedang bersandiwara. Bukan mauku seperti ini. Bahkan jika bisa, aku rela memberikan apapun agar aku terlepas dari semua kepalsuan yang mungkin kalian anggap. Tapi bahasaku, ini adalah penjajahan. Penyiksaan terhadap batin dan fikirku.
Namun pada akhirnya aku putuskan untuk batal pergi demi orang-orang yang sangat aku pertimbangkan perasaannya. Hanya sayang, semua tidak selalu indah seperti yang dibayangkan. Laraku tak jua lewat. Terus ia bersemayam dalam qalbu. Hingga aku sampai pada kesimpulan sepihak, seharusnya aku tidak berada disini. Bagaimanapun caraku agar keluar dari kepedihan ini, aku tak mampu menemukannya. Do something, but it’s feel nothing. Inilah yang sedang terjadi padaku. Pada jiwaku. Pada asaku. Aku tidak berharap orang lain bisa memahamiku. Tidak lagi. Karena aku telah sampai pada sebuah konklusi bahwa aku hidup hanya sendiri. Dan akan begitu hingga aku kembali pada pemilikku.
Ya, satu kata saja tak akan mampu menggambarkan betapa rumitnya sebuah hal saja terjadi padaku. Apa yang aku lakukan, dicerna berbeda oleh orang lain. Aku ingin menyerah terkadang. Tapi baru saja akan kulakukan, sesuatu memberontak di dalam diriku. Apa ini? Sebuah pertarungan di dalam pemikiran. Sebuah distorsi kognitif, jika dosenku mengatakan. Kontaminasi yang buruk memasukiku. Mengalienasikan kebaikan dalam diriku. Akhirnya, aku menjadi orang asing. Bukan ‘seperti’ lagi. Karena bahkan ‘telah’. Asing bahkan untuk mengenali diriku sendiri. Asing bahkan untuk memahami orang lain. Inilah klimaks dalam diriku.

Mentari...

Andai ada esok pagi yang lebih bersinar dibanding hari ini mungkin mentari yang enggan menunjukkan dirinya saat ini mampu muncul dan benderang saat pagi menjelang. Terkadang sulit untuk membayangkan jika hari esok lagi-lagi mentari tak bersinar, mungkin harapan pun sulit pula untuk terbit dari setiap jiwa manusia. Begitu dengan harapan di hati ini, tiada, dan memang tak ada. Hampir pasti pahit ini telah kutelan dalam rasa. Menyadari akan banyak hal yang terabaikan, ada banyak kerinduan yang tak tersampaikan. Sulit untuk kupahami, ada banyak yang acuh dan diacuhkan. Ternyata sebuah penguatan terhadap diri ini tak akan mampu menghapus pilu yang terlanjur hadir tanpa ragu. Seakan tiada lagi belas dan kasih yang bisa ia berikan pada jiwa yang tak pernah kuat ini. Asa, mampukah mengalahkan semua kenyataan yang sebelumnya dirasa tak memihak??? Malu ku nyatanya lebih kuat dibanding apapun, meskipun itu sebuah kebaikan yang dapat terpancarkan andai harus melakukan pembelaan terhadap pengkhianatan. Tapi adilkah itu???