Jumat, 11 Januari 2013

Yu Mar

YuMar. Berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk kembali berjalan sempurna membawa bakul gendong di atas punggung rentanya? Pengobatan demi pengobatan terus diusahakan. Segala upaya dicoba untuk dimungkinkan. Mulai dari kontrol ke Bedah Syaraf di Rumas Sakit Margono yang ditangani oleh dokter ahli syaraf dr. Agus, periksakan ke dokter praktek dr. An-Nur, pijat ke ahli pijat, terapi batu giok, sampai ke pijat dan obat-obatan herbal telah dilakukan. Kondisi Yu Mar berangsur membaik, meski beberapa kali sakit itu ia rasakan lagi. Kontrol rutin ke RSUD Margono selalu berbuah kesimpulan singkat namun jelas dari sang dokter: Oh, ini harus dioperasi.
Beberapa kali kami meyakinkan diri dengan berkali-kali menanyai lagi dokter yang menangani apakah Yu Mar tidak bisa hanya diterapi? Apakah memang sangat harus untuk operasi? Tidak bisakah mengusahakan fisioterapi? Sampai akhirnya jawaban yang didapat dari dokter berbeda yang mempunyai persepsi sama dengan yang sebelumnya adalah : yuk, ayo kita fisioterapi sampai kapok. Sebelum kapok jangan berhenti fisioterapi.
Deg. Ada kesadaran yang tertunda. Benarkah ini artinya bahwa hanya operasi yang bisa memungkinkan Yu Mar sembuh 100%? Jawabannya iya. Fisioterapi memang diperlukan, hanya saja itu pasca operasi dilakukan. Selain dari pada itu, fisioterapi tidak betul-betul menyembuhkan. Menahan nyeri dan meredakan untuk beberapa waktu tertentu mungkin iya. Tetapi tidak untuk bisa sampai kaki-kaki tersebut kokoh dan tak pernah merasakan nyeri lagi. Nyatanya, fisioterapi kebanyakan memakan waktu yang lama dan hasilnya pun tidak selalu sempurna. Sama halnya demikian dengan operasi yang memiliki dua kemungkinan, yaitu berhasil atau tidak. Yang namanya usaha atau ikhtiar, tentu tetap hanya Tuhan-lah yang menentukan.
Sementara ini, sembari menunggu uang untuk operasi Yu Mar terkumpul, beberapa pengobatan yang sedang dilakukan adalah obat dari RS dan dokter praktek, pijat dan obat-obatan herbal. Yu Mar mencoba memilah mana yang lebih manjur untuknya sebagai penahan beberapa lama atau selama mungkin yang dia harapkan. Dan akhirnya pilihan Yu Mar jatuh pada pijat dan obat-obatan herbal. Namun tentu saja, biaya untuk itupun tidaklah sedikit. Untuk ongkos pijat saja memakan cukup banyak di luar pembelian obat-obat herbal tersebut. Hal itu yang terkadang membuat Yu Mar agak kaku terhadap kami jika Yu Mar ingin meminta dipijat saat nyeri itu datang lagi. Namun Yu Mar selalu menemukan cara untuk mengobatinya meski terkadang ngeri karena sangat tradisional sekali dengan menggunakan botol air panas. Dengan kondisinya yang tidak memungkinkan berjualan selama hampir lebih dari satu semester atau sekitar enam bulan, membuat ia merasa kesepian.  Akhirnya sambil refreshing (bahasanya Yu Mar.red) Yu Mar mencoba kembali berjualan saat kondisinya sedikit membaik sambil menunggu tindakan operasi dapat dilakukan setelah dana terkumpul. Kami hanya bisa berusaha. Sekian.
Upaya pengobatan yang telah dilakukan:
Kontrol rutin ke margono ke bedah syaraf
Foto rontgen di geriatri
Foto RRI di geriatri
Terapi batu giok
Pijat tradisional
Obat-obatan herbal

Selasa, 17 April 2012

Kejamnya Persepsi Sakit, Sebuah Keterasingan Peran Sosial

“Bukan penyakit ini yang membuat kami sangat menderita, namun justru stigma masyarakat-lah yang membunuh kami..” (ODHA-Orang Dengan HIV AIDS)

AIDS. Menyeramkan rasanya mendengar sejumput kata ini. Entah darimana asalnya. Faktanya saat ini AIDS merupakan salah satu penyakit yang ditakuti sepanjang masa. Begitupun dengan disleksia, penyakit yang sebagian besar orang menganggap pengidapnya adalah orang aneh dan sakit jiwa hingga tak pantas untuk dijadikan teman. Sama halnya dengan penyakit yang sangat dianggap memalukan yaitu kusta, berapa banyak penderita kusta yang telah dibuang dan dijauhkan dari keluarganya sendiri. Takut. Semua orang merasa ketakutan. Para penderitanya diasingkan, bahkan dikucilkan.
Para penderita penyakit seringkali dianggap mengerikan oleh sebagian besar orang, hingga pada akhirnya timbul semacam diskriminasi terhadap kelompok  yang seharusnya didekati dan diselamatkan ini. Seperti yang diungkap oleh salah satu ODHA yang saat itu ditemui dalam sebuah seminar Peningkatan Kapasitas Ibu Rumah Tangga dan Remaja dalam Upaya Pencegahan HIV AIDS yang diselenggarakan oleh LPPM Unsoed, “Bukan penyakit ini yang membuat kami sangat menderita, justru stigma dari masyarakat-lah yang membunuh kami..”  betapa kata yang ia gunakan untuk menggambarkan bagaimana dampak stigma terhadap diri mereka begitu luar biasa. ‘Membunuh’, memang sudah tepat untuk menggambarkannya. Toh tanpa pandangan masyarakat pun lama-lama mereka tetap akan terbunuh, dan masyarakat telah membantu untuk tak hanya membunuh mereka secara fisik, namun juga peran dan status mereka dalam kehidupan sosial.
Fakta ini mungkin bisa menyadarkan kita, bahwa selama ini tidak pernah terpikir oleh kita untuk merangkulnya dan memberikan motivasi serta semangat, padahal justru itulah yang sangat mereka butuhkan. Hal itu tampaknya sudah menjadi hal yang biasa dan seakan tidak perlu diresahkan lagi. Lebih jauh dari itu, nampaknya hanya sedikit sekali yang masih peduli untuk memikirkan orang-orang tersebut. Nyaris bisa dihitung oleh jari. Kebanyakan masyarakat lebih suka menganggap mereka tidak ada. Justru disinilah letak kesalahan yang bisa menimbulkan kerusakan nilai dalam sistem masyarakat.
Sakit dan sehat itu hanya soal persepsi. Perilaku sehat diperlihatkan oleh individu-individu yang merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu mereka betul-betul sehat, begitupun sebaliknya. Orang yang sakit tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya di lingkungan kerja dan keluarganya sehingga fungsinya itu harus digantikan oleh orang lain. Kadang-kadang peranan orang yang sakit itu sedemikian luasnya sehingga peranan yang ditinggalkannya itu tidak cukup digantikan oleh satu orang saja melainkan harus beberapa orang. Padahal orang yang berpenyakit, belum tentu orang sakit dan belum tentu mengakibatkan perubahan perannya dalam masyarakat. (Notoatmodjo & Sarwono, 1986)
“Kami mohon, jangan asingkan kami, jangan anggap kami lain..” inilah teriakan hati para penderita aids, disleksia, kusta, sakit jiwa, dsb. Ternyata sang penderita pun bisa merasakan bahwa dirinya telah dianggap ‘berbeda’, dan tendensi negatif telah melekat ke dalam diri mereka. Bagaimana seorang pengidap HV AIDS dikucilkan dan dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitarnya, bagaimana si penderita disleksia yang sudah sulit dalam kemampuannya memahami tulisan harus disulitkan pula dalam memahami mengapa orang-orang enggan bergaul dengan dirinya, mengapa orang tuanya tidak mampu memahami kekurangannya, mengapa malah ia dianggap bodoh dan idiot oleh semua orang di sekelilingnya, bagaimana ia harus tertekan oleh semua sikap yang menjauhkannya dari akal sehat. Lalu bagaimana si pemilik kusta harus hidup sendirian demi orang-orang sekitarnya tidak tertular olehnya, bagaimana ia harus mengorbankan diri dan usaha kesembuhannya demi supaya tidak banyak lagi orang ‘menjelma’ seperti dirinya, padahal ia mampu keluar dari jerat penyiksaan terhadap mentalnya jika saja orang-orang mampu menerimanya dengan tangan terbuka dan menganggapnya sama, sehingga besar kemungkinan ia mampu memiliki semangat berjuang untuk sembuh. Masih ada lagi seorang yang mengalami gangguan kesehatan jiwa, yang kebanyakan orang lebih senang menyebutnya ‘gila’. Bagaimana ia hidup telah betul-betul dilepaskan dari peran sosialnya. Dianggap gila, sinting, edan, dan semacamnya,  benar-benar divonis tidak mampu melakukan apapun layaknya orang sehat, dan tidak pantas menerima perlakuan lazimnya si sehat. Seringkali kita lihat bagaimana seorang sakit jiwa itu ditakuti, dianggap sampah. Hal ini juga tidak lepas dari peran media. Di media kerap digambarkan orang dengan masalah kejiwaan atau yang menderita skizofrenia secara salah, seperti menyebutnya orang gila. Dalam media penyiaran televisi mereka sering digambarkan sebagai pribadi yang kacau, berbahaya, dan perlu disingkirkan dari kehidupan sosial. (Kompas.com. )
Dari penggunaan istilah gila, sinting, edan, dan semacamnya saja sudah dapat terlihat stigma negatif sebagai contoh yang paling mudahnya. Padahal sebenarnya masyarakat mampu memperlakukan orang-orang ini dengan lebih baik.  Apabila opini publik yang terbentuk tidak seperti yang sudah tampak di masyarakat, sebagai contoh sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kalikarang, Purbalingga terhadap Jatru, salah seorang yang mengalami masalah kejiwaan disebabkan tidak mampu melanjutkan sekolah karena faktor ekonomi, masyarakat di sekitarnya tidak ia menganggapnya orang gila, tidak ada perspektif buruk terhadap kegilaan terhadap apa yang dialami Jatru, sehingga Jatru hidup berkumpul dan bermasyarakat seperti yang lainnya, tidak ada yang memandangnya sebagai orang aneh dan semacamnya, hingga akhirnya ia pun mampu bekerja dan menjalankan peran sosial layaknya orang yang tidak memiliki masalah kejiwaan apapun, bahkan ia sanggup membantu masyarakat sama halnya seperti orang-orang sehat lainnya.
Dari sinilah mari berbicara seandainya, untuk pengidap HIV, seandainya saat itu memang dirinya betul-betul terkena virus HIV namun ia belum mengetahuinya dan tidak ada seorang pun yang tahu, akankah ia mendapat perlakuan semacam itu? Jawabannya tidak. Orang masih akan tetap menganggapnya sama dengan yang lain dan menjadi bagian dari masyarakat. Ia tetap bisa menjalankan peran sosial sebagaimana mestinya. Karena tidak tampak bedanya ia dengan orang orang lainnya. Namun berbeda ketika masyarakat tahu bahwa ia seseorang yang ‘sakit’ HIV, apa yang akan terjadi? Perlahan, ia dilepaskan dari peran sosialnya sendiri. Yang membuat ‘beda’ itu justru adalah masyarakat. Orang yang menilainya, bukan dirinya sendiri. Namun karena orang di luar sana telah memandang ia sedemikian rupa mau tidak mau timbul perasaan yang sama mengira bahwa dirinya berbeda dan telah menjadi lain dari orang-orang di sekitarnya.  Bagaimana bisa? Karena masyarakat disana sini memandang HIV AIDS itu lain, orang disleksia itu berbeda, penderita kusta itu bukan bagian mereka. Begitulah cara pandang masyarakat. Persepsi. Lagi-lagi ini hanya masalah persepsi. Sesuatu yang sebetulnya tidak ada.
Padahal banyak orang yang sakit namun tetap melakukan peran sosial layaknya orang-orang sehat pada umumnya. Mari kita tanya Che guevara, Che adalah seorang pengidap asma akut, namun lihat bagaimana Che tetap berjuang bahkan melebihi orang yang sehat sekali pun. Kita coba sapa panglima kebanggaan kita, Jenderal Soedirman, bahkan dalam keadaan sakit paru-paru yang parah pun ia tetap dengan gagah berani bergerilya menghadapi musuh-musuh bebuyutan negara ini demi kebebasan rakyat, demi merdekanya bangsa.
Dapatkah terlihat adanya pembeda disana, orang sakit pun mampu melakukan hal bahkan di atas rata-rata orang yang ‘katanya’ sehat. Saat orang-orang itu mampu melakukan hal lebih, mengapa justru peran mereka yang dihancurkan? Kesempatan yang seharusnya diberikan kepada mereka seluas-luasnya justru dirampas oleh sebuah vonis  ‘tidak layak’.
 Justru dengan adanya justifikasi semacam itu, mereka semakin merasa dijauhkan dari peran sosial yang seharusnya mereka jalankan. Haruskah mereka teralienasi dari kehidupan yang sewajarnya didapatkan?

*SMR

Senin, 09 April 2012

In my 20th

10 Maret 2012
Menjelang hari dimana aku tidak ingin segera melewatinya. Dalam kesendirian. Dalam kesepian. Aku ingin segera mengucapkan selamat tinggal. Atau selamat jalan. Tahun ke-20. Dimana 19 tahun aku masih mendapatkan do’a-do’a darinya, dan sekedar ucapan sederhana, atau bahkan uang saku untukku membeli kado ulang tahun sesukaku. Namun hari esok, saat menginjak bilangan setelah angka 19, aku harus tidak mendapatkannya. Kata pantas, mungkin cocok untuk menggambarkan perasaanku esok.
Aku sudah berusaha, menghindari kesedihanku harus terbit esok hari. Maka aku memikirkan untuk mengikuti kegiatan anak-anak himpunan Kuningan. Agar lupa aku pada lara. Agar tak sulit untuk menemukan pelipurnya. Aku tidak bisa tanpa kesedihan jika tidak disibukkan. Aku tercenung. Termenung sendiri. Jika sudah begitu, aku merasa akan gila. Pikiran demi pikiran kusut terus mendaki otakku. Apa yang akan dikatakan orang-orang? Ayu si lembek. Ayu si galau. Atau bahkan, ayu yang sok yes.  Tapi demi Tuhan, apapun yang mereka katakan aku tidak peduli. Bukan aku ingin diperhatikan. Sungguh, aku berani bersumpah AKU TIDAK SEDANG BERUSAHA MENCARI PERHATIAN, atau katakanlah apapun itu. Kadang aku tidak bisa mengerti mengapa orang menganggap aku hanya sedang bersandiwara. Bukan mauku seperti ini. Bahkan jika bisa, aku rela memberikan apapun agar aku terlepas dari semua kepalsuan yang mungkin kalian anggap. Tapi bahasaku, ini adalah penjajahan. Penyiksaan terhadap batin dan fikirku.
Namun pada akhirnya aku putuskan untuk batal pergi demi orang-orang yang sangat aku pertimbangkan perasaannya. Hanya sayang, semua tidak selalu indah seperti yang dibayangkan. Laraku tak jua lewat. Terus ia bersemayam dalam qalbu. Hingga aku sampai pada kesimpulan sepihak, seharusnya aku tidak berada disini. Bagaimanapun caraku agar keluar dari kepedihan ini, aku tak mampu menemukannya. Do something, but it’s feel nothing. Inilah yang sedang terjadi padaku. Pada jiwaku. Pada asaku. Aku tidak berharap orang lain bisa memahamiku. Tidak lagi. Karena aku telah sampai pada sebuah konklusi bahwa aku hidup hanya sendiri. Dan akan begitu hingga aku kembali pada pemilikku.
Ya, satu kata saja tak akan mampu menggambarkan betapa rumitnya sebuah hal saja terjadi padaku. Apa yang aku lakukan, dicerna berbeda oleh orang lain. Aku ingin menyerah terkadang. Tapi baru saja akan kulakukan, sesuatu memberontak di dalam diriku. Apa ini? Sebuah pertarungan di dalam pemikiran. Sebuah distorsi kognitif, jika dosenku mengatakan. Kontaminasi yang buruk memasukiku. Mengalienasikan kebaikan dalam diriku. Akhirnya, aku menjadi orang asing. Bukan ‘seperti’ lagi. Karena bahkan ‘telah’. Asing bahkan untuk mengenali diriku sendiri. Asing bahkan untuk memahami orang lain. Inilah klimaks dalam diriku.

Mentari...

Andai ada esok pagi yang lebih bersinar dibanding hari ini mungkin mentari yang enggan menunjukkan dirinya saat ini mampu muncul dan benderang saat pagi menjelang. Terkadang sulit untuk membayangkan jika hari esok lagi-lagi mentari tak bersinar, mungkin harapan pun sulit pula untuk terbit dari setiap jiwa manusia. Begitu dengan harapan di hati ini, tiada, dan memang tak ada. Hampir pasti pahit ini telah kutelan dalam rasa. Menyadari akan banyak hal yang terabaikan, ada banyak kerinduan yang tak tersampaikan. Sulit untuk kupahami, ada banyak yang acuh dan diacuhkan. Ternyata sebuah penguatan terhadap diri ini tak akan mampu menghapus pilu yang terlanjur hadir tanpa ragu. Seakan tiada lagi belas dan kasih yang bisa ia berikan pada jiwa yang tak pernah kuat ini. Asa, mampukah mengalahkan semua kenyataan yang sebelumnya dirasa tak memihak??? Malu ku nyatanya lebih kuat dibanding apapun, meskipun itu sebuah kebaikan yang dapat terpancarkan andai harus melakukan pembelaan terhadap pengkhianatan. Tapi adilkah itu??? 

Kamis, 01 Maret 2012

11 Februari 2012
Dekan FEUI : Kepada para pendamping, orang tua, pacar, calon pacar. Para mantan mahasiswa calon sarjana, dimohon untuk berdiri dan memberikan applause untuk para orang tua kita di luar... Karena tanpa kasih sayang mereka, kalian tidak akan berada disini...
Ssrr.. Cucuran air mata jatuh di kedua pipi Ibuku...

Akbar Nikmatullah (mantan Ketua BEM FEUI) : Motif salah satunya dari semua teman-teman disini adalah untuk mempersembahkan kebanggaan bagi para orang tua... Dan bersyukurlah bagi semua orang tua yang diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk melihat para anaknya dengan penuh kebanggaan. dan bagi orang tua yang tidak diberikan kesempatan, saya yakin, dimanapun mereka berada, mereka melihat, bangga dan terharu anaknya disini telah lulus menjadi sarjana FEUI.
Tess... Airmata kedua menggenang di pelupuk mata ibuku.

18 Februari 2012
Lihatlah Apa, kau saksikan anakmu berdiri disana memakai toganya dengan penuh kebanggaan. Jerih payahnya selama ini telah berbuah kesuksesan meraih gelar sarjana ekonomi. Pernahkah kau bayangkan di masa hidupmu bahwa ia berdiri disana tersenyum lega penuh bahagia tanpa kau di sampingnya? Bisakah kau rasakan kebahagiaannya bercampur dengan kegetiran dan mungkin sedikit penyesalan karna tak sempat ia dapatkan peluk kebanggaan dan airmata penuh cinta dibasuh haru darimu? Apakah mungkin kau disana ikut tersenyum bahagia melihat putra kebanggaanmu ini berhasil mendapat ijazah dari Universitas Indonesia 20 hari pasca kepergianmu? Apa boleh aku punya penyesalan serta tuntutan dalam pertanyaanku, 'mengapa secepat itu?'
20 hari dari masamu, putramu akan mengalami hari yang paling membahagiakan dalam sejarah hidupnya. Paling bahagia? Ya. Seharusnya. Jika kau ada disini. Jika kita lengkap. Takdir? Bukan. Ketetapan Tuhan? Ya. Aku terima.

Sabtu, 07 Januari 2012

Akhir lembar pilu. Janjiku.

25 desember 2011
Apa aku punya kesempatan untuk melihatnya terlepas dari penderitaan ini?
Apa aku akan bisa menyaksikan kebahagiaan yang telah lama tidak ia cicipi?
Bagaimana caraku untuk bertahan?
Apa aku sanggup terus menerus dalam kesakitan ini? Kesakitan karena harus menerima belas kasihan dari semua orang. Padahal aku selalu ingin menjadi cahaya dalam kegelapan bagi mereka, namun kenapa malah aku yang terkurung dalam gelap?
Begitu menyedihkan. Begitu malu diri ini. Pada diri sendiri, pada Tuhan, pada mereka yang tidak pernah mengeluh meski nestapa telah lama bertapa dalam kungkungan derita hidup.
Tuhan, berikan cara, berikan kesempatan, kekuatan untukku mampu mengucapkan selamat tinggal pada keputusasaan.
Pertanyaan mengapa seperti ini, mengapa aku dan keluargaku, mengapa tak kunjung usai, apa harus terus menerus bersemayam dalam hati dan fikriku?
Saat aku bersyukur, cobaan kembali datang, jauh lebih hebat, aku meyakinkan diri bahwa aku kuat.
Namun timbul pertanyaan lain, apakah aku betul-betul kuat, ataukah hanya pura-pura kuat???

26 desember 2011
Bila masaku telah habis untuk mengecap pahit kehidupan ini, akan kuceritakan pada siapapun yang mau mendengarnya, inilah hidup.... selalu ada persaingan dalam setiap episodenya. Persaingan untuk berjuang, bertahan, dan menjadi pemenang. Bagaimana akhirnya diriku? Akankah menjadi pemenang dan memenangkan pertarungan melawan ketidakberdayaan? Ataukah kalah dan tak mampu mengalahkan samurai peperangan hidup, yakni kesusahan? Jadikah aku seorang pecundang?

Jumat, 06 Januari 2012

Ayah...

9 November 2011
Kupandangi wajah tuanya yang semakin tirus. Tubuhnya hanya dilapisi kulit tipis dengan tulang yang menonjol disana-sini. Dia tampak gemuk. Ya, di beberapa bagian. Bukan karena lemak daging yang sehat. Namun cairan dari kantung kemihnya yang pecah menyebar di beberapa bagian tubuhnya secara tidak merata. Perutnya membesar. Disitulah tempat paling utama cairan itu berkumpul. Cairan itu berhasil membengkakkan kakinya. Seakan seluruh bebannya bertumpu di kaki. Dari lingkaran perut hingga ke punggung cairan itu mampu membuat bagian disana keras dan sulit untuk disentuh. Bagian perut hingga bawah yang tampak membesar itu betul-betul tidak seimbang dengan lengan hingga atasnya yang telah habis dikhianati penyakit. Sungguh miris melihatnya. Ia telah kehilangan keperkasaannya yang dulu sempat sekedar mampir di hidupnya. Aku merasa sangsi. Lelaki inikah yang dulu menggendongku dengan rentangan tangannya yang kekar? Diakah laki-laki gagah yang dulu mengajakku berlibur setiap akhir pekan? Tuhan... kuraih tangannya dan kucium pipi serta keningnya.
Kurasakan jemarinya yang kurus dan tanpa daya. Ia berkata-kata, namun matanya lebih menjelaskan banyak hal. Aku tahu  kelegaannya melihatku. Ekspresinya sedikit melunak dari wajahnya yang tampak mengeras menahan sakit. Nafasnya satu per satu. Keluar melalui mulut hingga mengeluarkan suara tidak enak dari hidungnya. Rupanya cairan itu membuat satu-satunya lelaki dalam hidupku ini sulit bernafas. Aku menamainya cairan laknat. Si laknat ini telah memenuhi paru-paru ayahku. Aku membisu. Kualihkan perhatianku pada perempuan paruh baya di sampingnya. Ia tersenyum letih. Aku menghampirinya. Ia memelukku hangat dengan kata-katanya yang lembut. Kurasakan tulangku langsung bersentuhan dengan tulangnya. Bahunya tidak berdaging. Wajahnya tak kalah tirus dengan ayahku. Tulang pipinya menonjol. Matanya cekung ke dalam. Tampak jelas gurat kelelahan luarbiasa disana. Namun kekuatan dan ketegaran terlihat dari pancaran matanya yang teduh dan senyumnya yang berusaha tetap ia tampilkan. Suguhan yang memilukan.
Aku keluar dari pemandangan itu segera. Amat takut mataku terlihat basah, namun beruntung hujan telah menyamarkannya. Aku berkeliling rumah. Kosong. Bahkan suaraku menggema di ruangan manapun. Bau rumah ini khas. Parfum yang biasa tercium di rumah sakit. Ya, bau obat, bau pesing dan semacamnya. Tentu saja, rumah ini sudah seperti rumah sakit dengan ibuku sebagai perawatnya. Beruntung ia seorang yang hebat. Bagiku, ia adalah wanita multitalent. Bukan karena ia wanita jaman sekarang yang berkarir dalam segala hal. Namun karena bakti dan pengabdiannya kepada keluarga. Ia bisa berperan sebagai ibu bagiku, isteri bagi ayahku, sebagai anak untuk nenekku, dan sebagai perawat bagi keduanya. Ia adalah simbol ketabahan tiada tara. Kesabarannya tak memiliki batas. Aku sungguh ingin sepertinya. Aku bersyukur memilikinya. Perempuan itu tidak pernah mengeluh atas hidupnya, tak pernah menyerah pada nasibnya. Hidup bersama seorang suami yang menderita sakit selama empat belas tahun bukanlah yang yang mudah dijalani setiap wanita. Tapi ia berhasil membuktikan ia mampu melakukannya. Sungguh, padahal hari-hari berat yang ia lalui tak kunjung berakhir. Sudah tak kuasa berkata apalagi rasanya jika teringat wajahnya yang semakin lelah.
Tuhan.. sampai kapan semua ini harus kami jalani?
Awal semester kuliah yang begitu berat bagiku. 2011 penuh duka untuk keluargaku. Di tahun ini entah sudah berapa belas kali Ayahku bolak balik menghuni bangsal-bangsal rumah sakit. Menjalani operasi yang berat di ibu kota. Menghabiskan banyak waktu untuk pemulihan, namun kesembuhan itu tak segera datang. Hampir putus asa aku dibuatnya. Biaya berpuluh-puluh juta habis untuk pengobatan. Mungkin sebagian simpanan untuk kuliahku.  Aku ikhlaskan. Bahkan sejak mengawali 2011 dengan kondisi ayahku yang seperti itu, aku telah bersiap. Sejak aku mengikuti ujian SNMPTN sementara ibuku berdo’a tiada henti untuk ayahku yang dalam keadaan tidak sadar di RS. Saat anak-anak lain diantar ke tempat ujian dan disemangati oleh para orangtuanya dengan keceriaan mereka. Dalam kepahitan itu aku sadar, aku sudah harus mandiri. Aku tidak boleh bergantung pada orangtuaku. Kucari sendiri dimana motivasi untukku bertahan. Akhirnya aku sadar, aku hanya boleh mengandalkan diri sendiri. Aku tidak bisa menyimpan asaku pada orang lain. Biar hidupku berjalan tetap pada relnya. Sehancur-hancurnya diriku, dalam kondisi apapun aku harus meyakinkan diriku sendiri bahwa aku mampu. Bertahan dalam ketiadaan. Berdamai dengan keterbatasan. Aku tidak bisa membawa lari masalahku pada keluargaku sendiri. Sudah terlalu banyak beban yang mereka tanggung. Ibuku... kakak-kakakku. Aku mengerti mereka sudah cukup diuji. Maka aku hanya bisa sendiri. Terpekur dalam kebimbangan menentukan jalan.

10 November 2011
Kuamati ia ketika tidur. Mulutnya terbuka. Racauannya tidak jelas. Seakan berbicara dengan seseorang dalam imajinasinya. Semakin kudengarkan baik-baik ternyata ia sedang mengoceh tentang masa lalunya. Seolah rekaman kaset masa lalunya diputar kembali. Tangannya tidak mau diam. Terus bergerak mengikuti bibirnya yang tak henti meracau. Aku enggan untuk menangis. Sudah cukup rasanya. Dokter bilang cairan itu telah pula masuk ke otaknya dan mengganggu fungsi syaraf otak hingga membangunkan memori masa lalunya,masa dimana yang paling ia inginkan kembali. Aku menghela nafas panjang. Betapapun inginnya aku menyabarkan dirinya, namun batal oleh rasa ketidakmampuanku menjawab kemauannya. Kulihat ia tampak meringis. Tangannya memegangi paha kurusnya. Tampak hati-hati di bagian itu. Ibuku bilang, buah zakarnya pun telah membesar bagaikan sebuah balon. Cairan itupun ternyata berani masuk kesana. Itu sebabnya ia sulit untuk duduk, berjalan, bahkan tidur nyenyak.  Terkadang ia terbangun dan merasa sesak, ibuku segera memasukkan selang oksigen untuk membantu ia bernafas. Sungguh aku merasa geram. Apa maunya laknat itu?

Kuoleskan lotion ke seluruh permukaan kulitnya yang kasar. Menyentuhnya seperti memanjakan ular bersisik. Hatiku teriris. Ketika sampai pada bagian tubuhnya yang keras, ingin rasanya aku membeleknya, mengeluarkan cairan itu dari sana. Kupijat lembut kakinya yang sudah sangat bengkak.  Tempurung lututnya kini seperti kelapa berukuran besar  yang telah dikupas cangkangnya. Telapaknya ikut membesar, jari-jari kakinya tak mampu digerakkan. Masih tampak jelas tanda bekas operasi pada punggung kaki kirinya. Disitulah tempat rasa sakit tak berani mengusiknya. Mati rasa. Begitulah. Semut yang mengerubungi saat kakinya diinjakkan di ubin pun tak dirasanya.
Fokusku beralih ke kepalanya. Kutelisir rambutnya yang telah menipis. Mencari helai demi helai yang berwarna putih. Kulihat telah banyak disana. Biasanya tak sebanyak ini. Rupanya usia telah memudarkan si hitam. Kini putih ingin menggantikannya. 55 tahun. Dengan 14 tahun yang ia habiskan untuk melawan penyakitnya ini. Rasanya sungguh wajar jika ia telah kehilangan banyak perhatian untuk hal-hal kecil. Cermat kuambil satu per satu helai putih itu dengan menggunakan vinset. Aku sudah berkali-kali mengingatkan ia untuk tidak mencabutinya. Biarlah rambut putih itu menerangi kuburnya nanti jika ia seorang yang soleh. Namun ia bersikukuh. Pengalih perhatian, ia beralasan. Tipis sudah kini si hitam ikalnya.

11 November 2011
Perlahan kuraih tangannya dan kupegangi dengan erat. Kuamati kuku-kukunya yang mulai memanjang. Kuambil catut untuk memotongnya. Kuusap-usap pergelangan tangannya. Sedang membandingkan. Apa bedanya dengan tangan kurusku? Mungkin bedanya hanya, aku masih sanggup dan kuat sekadar mengulurkan tangan, sedang ia tak mampu. Satu per satu kubersihkan kuku-kuku panjangnya yang berwarna kekuningan. Buah dari hepatitis yang turut mencintai tubuhnya. Hati-hati kuku demi kuku kupotong rapi, jika sampai ia terluka akan bahaya untuknya. Sedikit luka saja akan membuat masalah baru. Itulah kejamnya diabetes mellitus. Ah! Tanpa sadar aku mengenai kulit kukunya yang lunak. Darah langsung merembes keluar. Tuhan.. kulihat segera wajahnya yang tertidur namun tak nyenyak. Tak ada perubahan sama sekali. Tak ada kernyitan, rintihan, gumaman atau apapun. Ia tak merasakannya. Bergegas kuambil kapas dan rivanol. Kubersihkan dan kutekan agar darah segera berhenti. Untung hanya luka kecil sama seperti yang keluar setiap kali ia cek gula darah. Aku bernafas lega.

Tiap malam aku hampir tidak dapat tidur pulas. Rumah ini tidak bisa memberikan ketenangan yang diinginkan penghuninya. Dengan suara ayahku yang merintih dan berdzikir melawan rasa sakit, aku betul-betul tidak mampu untuk tidur nyaman. Terlebih aku tidur tanpa memakai selimut dalam hawa pegunungan ini. Semua selimut di rumah dipakai untuk ayahku yang selalu merasa kedinginan. Jika sudah begitu aku segera beranjak dari tempat tidur, kuambil air wudlu yang sedingin es. Aku tak berani masuk ke kamarnya sekalipun ingin. Aku takut ia merasa lebih tersiksa karena sadar suaranya telah mengusik tidur yang lain. Aku tak mau lagi melihat kesedihan di mata tuanya. Tak sanggup lagi tegak untuk sekedar melihat langsung wajah sakitnya. Rasanya ingin sekali membagi rasa sakit itu. Jikalau bisa, biarlah tubuh ini yang merasakan derita, supaya satu malam saja ayahku bisa tertidur lelap, tenang dan mengecap indahnya mimpi sehingga sejenak ia bisa terbebas dari nestapanya. Tuhan... jika azab di dunia saja sudah sedemikian rupa, bagaimana dengan azabMu di akhirat nanti? Aku hanya berdo’a semoga dengan sakitnya ini Engkau telah membersihkan dosa-dosanya dan menggantikannya dengan pahala sebagai hadiah atas kesabarannya. Amiin. Cukup di dunia saja Tuhan. Hatiku terlampau pilu demi menyaksikan ini semua.

12 November 2011
Tiga hari saja di rumah menimbulkan kelelahan yang tak ringan. Rasa capai yang melebihi dari mengurus bayi. Benar ibuku bilang, masih lebih mudah merawat cucunya dibanding ayahku. Aku semakin kehilangan kata-kata untuk menggambarkan betapa letihnya menjadi ibuku. Jika membayangkan ia yang sendirian membopong ayahku kesana kemari dengan berat badannya yang hampir 80 kg, rasanya sulit untuk menahan tangis yang sudah pasti pecah. Dengan tubuh sekurus diriku, mampukah ia menjalani ini sendirian? Sempat terbersit dalam pikiranku untuk tetap di rumah menemaninya merawat ayah. Biar saja aku yang mengalah untuk memulai kuliah disini. Biarlah aku segera terbangun dari mimpi besarku. Yang harus kuhadapi adalah dunia nyata. Bukan bumi khayalan semata.  Aku harus menyadari keadaanku sekarang. Meski jauh dari apa aku bayangkan dan kuinginkan, namun setidaknya aku akan mampu menjemput kebahagiaanku dengan jalan yang lain. Mengabdikan hidup pada orangtuaku mungkin bisa jadi jalan menuju itu. Sebagai wujud baktiku pada mereka, aku ingin menemani ayahku hingga betul-betul sembuh. Rasanya setiap detik waktu berharga untuk bisa lebih lama bersamanya. Aku merindukan ayahku yang dulu. Yang mampu berjalan tegap dan tidak pernah berdiam diri di rumah. Yang tak pernah kehabisan ide untuk bepergian. Yang selalu mengajakku berdua berjalan-jalan mencari bibit-bibit tanaman dan pohon. Aku rindu ayahku yang selalu menyetir sendiri kemanapun ia pergi, yang selalu mengambil raporku ke sekolah, yang mengantar jemputku ke tempat kegiatan-kegiatan yang aku ikuti. Aku rindu ayahku yang menasihatiku setiap kali aku pulang larut
 Aku merindukan shalat berjamaah yang rutin kita laksanakan dulu. Aku rindu kau menjadi imam keluarga kita. Aku rindu taushiyahmu tiap kali kita selesai shalat berjamaah. Aku rindu ayat-ayat kauliyah yang kau bacakan dalam shalatmu, rindu pada suara lantangmu ketika mengimami dan ketika mengaji. Aku rindu mencium tanganmu setelah selesai shalat. Sungguh aku rindu menjadi shafmu. Aku rindu...
Kini, untuk bangunpun kau tak mampu. Shalatpun tak lagi bisa kau kerjakan. Lima tahun sudah tak pernah lagi ada rutinitas itu. Dan aku melihat tahap perubahan itu. Dari mulai kau sudah tak lagi mampu shalat berdiri, sehingga kau lakukan sambil duduk, hingga kini kau hanya bisa berbaring. Tahun lalu kau masih bisa mengikuti shalat ied meski hanya sambil duduk. Tahun ini kau duduk di kursi roda, dan saat semangatmu membara untuk shalat ied, segera kau menyadari bahwa kau tak mampu. Kulihat wajah sedihmu yang membiarkan kami semua pergi untuk shalat. Itu membuat hatiku pedih. Saat kita foto keluarga bersama, tahun ini dan tahun lalu masih tetap sama. Kau dan ibu duduk di depan, sementara kami anak-anakmu berdiri di belakang, sama aja. Sekilas memang sungguh tampak sama, tapi begitu jeli lagi, lihatlah kursi yang kau duduki, berbeda. Sekali lagi kukatakan, tahun ini kau duduk di kursi roda, bukan kursi biasa lagi. Kini hatiku menjerit. Aku tahu waktu tak mungkin bisa diputar kembali, tetapi bukankah kita bisa tetap mengubah keadaan sama seperti dulu, bahkan lebih baik? Bukankah kita bisa membuat moment yang lebih indah? Aku mau mengukirnya kembali. Sangat ingin. Kau pun tentu ingin kan? Baik, aku akan menunggu. Akan kutunggu kau kembali perkasa. Sama seperti dulu. Ayah.......
kembalilah mendampingi isterimu seperti ini