Jumat, 06 Januari 2012

Ayah...

9 November 2011
Kupandangi wajah tuanya yang semakin tirus. Tubuhnya hanya dilapisi kulit tipis dengan tulang yang menonjol disana-sini. Dia tampak gemuk. Ya, di beberapa bagian. Bukan karena lemak daging yang sehat. Namun cairan dari kantung kemihnya yang pecah menyebar di beberapa bagian tubuhnya secara tidak merata. Perutnya membesar. Disitulah tempat paling utama cairan itu berkumpul. Cairan itu berhasil membengkakkan kakinya. Seakan seluruh bebannya bertumpu di kaki. Dari lingkaran perut hingga ke punggung cairan itu mampu membuat bagian disana keras dan sulit untuk disentuh. Bagian perut hingga bawah yang tampak membesar itu betul-betul tidak seimbang dengan lengan hingga atasnya yang telah habis dikhianati penyakit. Sungguh miris melihatnya. Ia telah kehilangan keperkasaannya yang dulu sempat sekedar mampir di hidupnya. Aku merasa sangsi. Lelaki inikah yang dulu menggendongku dengan rentangan tangannya yang kekar? Diakah laki-laki gagah yang dulu mengajakku berlibur setiap akhir pekan? Tuhan... kuraih tangannya dan kucium pipi serta keningnya.
Kurasakan jemarinya yang kurus dan tanpa daya. Ia berkata-kata, namun matanya lebih menjelaskan banyak hal. Aku tahu  kelegaannya melihatku. Ekspresinya sedikit melunak dari wajahnya yang tampak mengeras menahan sakit. Nafasnya satu per satu. Keluar melalui mulut hingga mengeluarkan suara tidak enak dari hidungnya. Rupanya cairan itu membuat satu-satunya lelaki dalam hidupku ini sulit bernafas. Aku menamainya cairan laknat. Si laknat ini telah memenuhi paru-paru ayahku. Aku membisu. Kualihkan perhatianku pada perempuan paruh baya di sampingnya. Ia tersenyum letih. Aku menghampirinya. Ia memelukku hangat dengan kata-katanya yang lembut. Kurasakan tulangku langsung bersentuhan dengan tulangnya. Bahunya tidak berdaging. Wajahnya tak kalah tirus dengan ayahku. Tulang pipinya menonjol. Matanya cekung ke dalam. Tampak jelas gurat kelelahan luarbiasa disana. Namun kekuatan dan ketegaran terlihat dari pancaran matanya yang teduh dan senyumnya yang berusaha tetap ia tampilkan. Suguhan yang memilukan.
Aku keluar dari pemandangan itu segera. Amat takut mataku terlihat basah, namun beruntung hujan telah menyamarkannya. Aku berkeliling rumah. Kosong. Bahkan suaraku menggema di ruangan manapun. Bau rumah ini khas. Parfum yang biasa tercium di rumah sakit. Ya, bau obat, bau pesing dan semacamnya. Tentu saja, rumah ini sudah seperti rumah sakit dengan ibuku sebagai perawatnya. Beruntung ia seorang yang hebat. Bagiku, ia adalah wanita multitalent. Bukan karena ia wanita jaman sekarang yang berkarir dalam segala hal. Namun karena bakti dan pengabdiannya kepada keluarga. Ia bisa berperan sebagai ibu bagiku, isteri bagi ayahku, sebagai anak untuk nenekku, dan sebagai perawat bagi keduanya. Ia adalah simbol ketabahan tiada tara. Kesabarannya tak memiliki batas. Aku sungguh ingin sepertinya. Aku bersyukur memilikinya. Perempuan itu tidak pernah mengeluh atas hidupnya, tak pernah menyerah pada nasibnya. Hidup bersama seorang suami yang menderita sakit selama empat belas tahun bukanlah yang yang mudah dijalani setiap wanita. Tapi ia berhasil membuktikan ia mampu melakukannya. Sungguh, padahal hari-hari berat yang ia lalui tak kunjung berakhir. Sudah tak kuasa berkata apalagi rasanya jika teringat wajahnya yang semakin lelah.
Tuhan.. sampai kapan semua ini harus kami jalani?
Awal semester kuliah yang begitu berat bagiku. 2011 penuh duka untuk keluargaku. Di tahun ini entah sudah berapa belas kali Ayahku bolak balik menghuni bangsal-bangsal rumah sakit. Menjalani operasi yang berat di ibu kota. Menghabiskan banyak waktu untuk pemulihan, namun kesembuhan itu tak segera datang. Hampir putus asa aku dibuatnya. Biaya berpuluh-puluh juta habis untuk pengobatan. Mungkin sebagian simpanan untuk kuliahku.  Aku ikhlaskan. Bahkan sejak mengawali 2011 dengan kondisi ayahku yang seperti itu, aku telah bersiap. Sejak aku mengikuti ujian SNMPTN sementara ibuku berdo’a tiada henti untuk ayahku yang dalam keadaan tidak sadar di RS. Saat anak-anak lain diantar ke tempat ujian dan disemangati oleh para orangtuanya dengan keceriaan mereka. Dalam kepahitan itu aku sadar, aku sudah harus mandiri. Aku tidak boleh bergantung pada orangtuaku. Kucari sendiri dimana motivasi untukku bertahan. Akhirnya aku sadar, aku hanya boleh mengandalkan diri sendiri. Aku tidak bisa menyimpan asaku pada orang lain. Biar hidupku berjalan tetap pada relnya. Sehancur-hancurnya diriku, dalam kondisi apapun aku harus meyakinkan diriku sendiri bahwa aku mampu. Bertahan dalam ketiadaan. Berdamai dengan keterbatasan. Aku tidak bisa membawa lari masalahku pada keluargaku sendiri. Sudah terlalu banyak beban yang mereka tanggung. Ibuku... kakak-kakakku. Aku mengerti mereka sudah cukup diuji. Maka aku hanya bisa sendiri. Terpekur dalam kebimbangan menentukan jalan.

10 November 2011
Kuamati ia ketika tidur. Mulutnya terbuka. Racauannya tidak jelas. Seakan berbicara dengan seseorang dalam imajinasinya. Semakin kudengarkan baik-baik ternyata ia sedang mengoceh tentang masa lalunya. Seolah rekaman kaset masa lalunya diputar kembali. Tangannya tidak mau diam. Terus bergerak mengikuti bibirnya yang tak henti meracau. Aku enggan untuk menangis. Sudah cukup rasanya. Dokter bilang cairan itu telah pula masuk ke otaknya dan mengganggu fungsi syaraf otak hingga membangunkan memori masa lalunya,masa dimana yang paling ia inginkan kembali. Aku menghela nafas panjang. Betapapun inginnya aku menyabarkan dirinya, namun batal oleh rasa ketidakmampuanku menjawab kemauannya. Kulihat ia tampak meringis. Tangannya memegangi paha kurusnya. Tampak hati-hati di bagian itu. Ibuku bilang, buah zakarnya pun telah membesar bagaikan sebuah balon. Cairan itupun ternyata berani masuk kesana. Itu sebabnya ia sulit untuk duduk, berjalan, bahkan tidur nyenyak.  Terkadang ia terbangun dan merasa sesak, ibuku segera memasukkan selang oksigen untuk membantu ia bernafas. Sungguh aku merasa geram. Apa maunya laknat itu?

Kuoleskan lotion ke seluruh permukaan kulitnya yang kasar. Menyentuhnya seperti memanjakan ular bersisik. Hatiku teriris. Ketika sampai pada bagian tubuhnya yang keras, ingin rasanya aku membeleknya, mengeluarkan cairan itu dari sana. Kupijat lembut kakinya yang sudah sangat bengkak.  Tempurung lututnya kini seperti kelapa berukuran besar  yang telah dikupas cangkangnya. Telapaknya ikut membesar, jari-jari kakinya tak mampu digerakkan. Masih tampak jelas tanda bekas operasi pada punggung kaki kirinya. Disitulah tempat rasa sakit tak berani mengusiknya. Mati rasa. Begitulah. Semut yang mengerubungi saat kakinya diinjakkan di ubin pun tak dirasanya.
Fokusku beralih ke kepalanya. Kutelisir rambutnya yang telah menipis. Mencari helai demi helai yang berwarna putih. Kulihat telah banyak disana. Biasanya tak sebanyak ini. Rupanya usia telah memudarkan si hitam. Kini putih ingin menggantikannya. 55 tahun. Dengan 14 tahun yang ia habiskan untuk melawan penyakitnya ini. Rasanya sungguh wajar jika ia telah kehilangan banyak perhatian untuk hal-hal kecil. Cermat kuambil satu per satu helai putih itu dengan menggunakan vinset. Aku sudah berkali-kali mengingatkan ia untuk tidak mencabutinya. Biarlah rambut putih itu menerangi kuburnya nanti jika ia seorang yang soleh. Namun ia bersikukuh. Pengalih perhatian, ia beralasan. Tipis sudah kini si hitam ikalnya.

11 November 2011
Perlahan kuraih tangannya dan kupegangi dengan erat. Kuamati kuku-kukunya yang mulai memanjang. Kuambil catut untuk memotongnya. Kuusap-usap pergelangan tangannya. Sedang membandingkan. Apa bedanya dengan tangan kurusku? Mungkin bedanya hanya, aku masih sanggup dan kuat sekadar mengulurkan tangan, sedang ia tak mampu. Satu per satu kubersihkan kuku-kuku panjangnya yang berwarna kekuningan. Buah dari hepatitis yang turut mencintai tubuhnya. Hati-hati kuku demi kuku kupotong rapi, jika sampai ia terluka akan bahaya untuknya. Sedikit luka saja akan membuat masalah baru. Itulah kejamnya diabetes mellitus. Ah! Tanpa sadar aku mengenai kulit kukunya yang lunak. Darah langsung merembes keluar. Tuhan.. kulihat segera wajahnya yang tertidur namun tak nyenyak. Tak ada perubahan sama sekali. Tak ada kernyitan, rintihan, gumaman atau apapun. Ia tak merasakannya. Bergegas kuambil kapas dan rivanol. Kubersihkan dan kutekan agar darah segera berhenti. Untung hanya luka kecil sama seperti yang keluar setiap kali ia cek gula darah. Aku bernafas lega.

Tiap malam aku hampir tidak dapat tidur pulas. Rumah ini tidak bisa memberikan ketenangan yang diinginkan penghuninya. Dengan suara ayahku yang merintih dan berdzikir melawan rasa sakit, aku betul-betul tidak mampu untuk tidur nyaman. Terlebih aku tidur tanpa memakai selimut dalam hawa pegunungan ini. Semua selimut di rumah dipakai untuk ayahku yang selalu merasa kedinginan. Jika sudah begitu aku segera beranjak dari tempat tidur, kuambil air wudlu yang sedingin es. Aku tak berani masuk ke kamarnya sekalipun ingin. Aku takut ia merasa lebih tersiksa karena sadar suaranya telah mengusik tidur yang lain. Aku tak mau lagi melihat kesedihan di mata tuanya. Tak sanggup lagi tegak untuk sekedar melihat langsung wajah sakitnya. Rasanya ingin sekali membagi rasa sakit itu. Jikalau bisa, biarlah tubuh ini yang merasakan derita, supaya satu malam saja ayahku bisa tertidur lelap, tenang dan mengecap indahnya mimpi sehingga sejenak ia bisa terbebas dari nestapanya. Tuhan... jika azab di dunia saja sudah sedemikian rupa, bagaimana dengan azabMu di akhirat nanti? Aku hanya berdo’a semoga dengan sakitnya ini Engkau telah membersihkan dosa-dosanya dan menggantikannya dengan pahala sebagai hadiah atas kesabarannya. Amiin. Cukup di dunia saja Tuhan. Hatiku terlampau pilu demi menyaksikan ini semua.

12 November 2011
Tiga hari saja di rumah menimbulkan kelelahan yang tak ringan. Rasa capai yang melebihi dari mengurus bayi. Benar ibuku bilang, masih lebih mudah merawat cucunya dibanding ayahku. Aku semakin kehilangan kata-kata untuk menggambarkan betapa letihnya menjadi ibuku. Jika membayangkan ia yang sendirian membopong ayahku kesana kemari dengan berat badannya yang hampir 80 kg, rasanya sulit untuk menahan tangis yang sudah pasti pecah. Dengan tubuh sekurus diriku, mampukah ia menjalani ini sendirian? Sempat terbersit dalam pikiranku untuk tetap di rumah menemaninya merawat ayah. Biar saja aku yang mengalah untuk memulai kuliah disini. Biarlah aku segera terbangun dari mimpi besarku. Yang harus kuhadapi adalah dunia nyata. Bukan bumi khayalan semata.  Aku harus menyadari keadaanku sekarang. Meski jauh dari apa aku bayangkan dan kuinginkan, namun setidaknya aku akan mampu menjemput kebahagiaanku dengan jalan yang lain. Mengabdikan hidup pada orangtuaku mungkin bisa jadi jalan menuju itu. Sebagai wujud baktiku pada mereka, aku ingin menemani ayahku hingga betul-betul sembuh. Rasanya setiap detik waktu berharga untuk bisa lebih lama bersamanya. Aku merindukan ayahku yang dulu. Yang mampu berjalan tegap dan tidak pernah berdiam diri di rumah. Yang tak pernah kehabisan ide untuk bepergian. Yang selalu mengajakku berdua berjalan-jalan mencari bibit-bibit tanaman dan pohon. Aku rindu ayahku yang selalu menyetir sendiri kemanapun ia pergi, yang selalu mengambil raporku ke sekolah, yang mengantar jemputku ke tempat kegiatan-kegiatan yang aku ikuti. Aku rindu ayahku yang menasihatiku setiap kali aku pulang larut
 Aku merindukan shalat berjamaah yang rutin kita laksanakan dulu. Aku rindu kau menjadi imam keluarga kita. Aku rindu taushiyahmu tiap kali kita selesai shalat berjamaah. Aku rindu ayat-ayat kauliyah yang kau bacakan dalam shalatmu, rindu pada suara lantangmu ketika mengimami dan ketika mengaji. Aku rindu mencium tanganmu setelah selesai shalat. Sungguh aku rindu menjadi shafmu. Aku rindu...
Kini, untuk bangunpun kau tak mampu. Shalatpun tak lagi bisa kau kerjakan. Lima tahun sudah tak pernah lagi ada rutinitas itu. Dan aku melihat tahap perubahan itu. Dari mulai kau sudah tak lagi mampu shalat berdiri, sehingga kau lakukan sambil duduk, hingga kini kau hanya bisa berbaring. Tahun lalu kau masih bisa mengikuti shalat ied meski hanya sambil duduk. Tahun ini kau duduk di kursi roda, dan saat semangatmu membara untuk shalat ied, segera kau menyadari bahwa kau tak mampu. Kulihat wajah sedihmu yang membiarkan kami semua pergi untuk shalat. Itu membuat hatiku pedih. Saat kita foto keluarga bersama, tahun ini dan tahun lalu masih tetap sama. Kau dan ibu duduk di depan, sementara kami anak-anakmu berdiri di belakang, sama aja. Sekilas memang sungguh tampak sama, tapi begitu jeli lagi, lihatlah kursi yang kau duduki, berbeda. Sekali lagi kukatakan, tahun ini kau duduk di kursi roda, bukan kursi biasa lagi. Kini hatiku menjerit. Aku tahu waktu tak mungkin bisa diputar kembali, tetapi bukankah kita bisa tetap mengubah keadaan sama seperti dulu, bahkan lebih baik? Bukankah kita bisa membuat moment yang lebih indah? Aku mau mengukirnya kembali. Sangat ingin. Kau pun tentu ingin kan? Baik, aku akan menunggu. Akan kutunggu kau kembali perkasa. Sama seperti dulu. Ayah.......
kembalilah mendampingi isterimu seperti ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar