Senin, 09 April 2012

In my 20th

10 Maret 2012
Menjelang hari dimana aku tidak ingin segera melewatinya. Dalam kesendirian. Dalam kesepian. Aku ingin segera mengucapkan selamat tinggal. Atau selamat jalan. Tahun ke-20. Dimana 19 tahun aku masih mendapatkan do’a-do’a darinya, dan sekedar ucapan sederhana, atau bahkan uang saku untukku membeli kado ulang tahun sesukaku. Namun hari esok, saat menginjak bilangan setelah angka 19, aku harus tidak mendapatkannya. Kata pantas, mungkin cocok untuk menggambarkan perasaanku esok.
Aku sudah berusaha, menghindari kesedihanku harus terbit esok hari. Maka aku memikirkan untuk mengikuti kegiatan anak-anak himpunan Kuningan. Agar lupa aku pada lara. Agar tak sulit untuk menemukan pelipurnya. Aku tidak bisa tanpa kesedihan jika tidak disibukkan. Aku tercenung. Termenung sendiri. Jika sudah begitu, aku merasa akan gila. Pikiran demi pikiran kusut terus mendaki otakku. Apa yang akan dikatakan orang-orang? Ayu si lembek. Ayu si galau. Atau bahkan, ayu yang sok yes.  Tapi demi Tuhan, apapun yang mereka katakan aku tidak peduli. Bukan aku ingin diperhatikan. Sungguh, aku berani bersumpah AKU TIDAK SEDANG BERUSAHA MENCARI PERHATIAN, atau katakanlah apapun itu. Kadang aku tidak bisa mengerti mengapa orang menganggap aku hanya sedang bersandiwara. Bukan mauku seperti ini. Bahkan jika bisa, aku rela memberikan apapun agar aku terlepas dari semua kepalsuan yang mungkin kalian anggap. Tapi bahasaku, ini adalah penjajahan. Penyiksaan terhadap batin dan fikirku.
Namun pada akhirnya aku putuskan untuk batal pergi demi orang-orang yang sangat aku pertimbangkan perasaannya. Hanya sayang, semua tidak selalu indah seperti yang dibayangkan. Laraku tak jua lewat. Terus ia bersemayam dalam qalbu. Hingga aku sampai pada kesimpulan sepihak, seharusnya aku tidak berada disini. Bagaimanapun caraku agar keluar dari kepedihan ini, aku tak mampu menemukannya. Do something, but it’s feel nothing. Inilah yang sedang terjadi padaku. Pada jiwaku. Pada asaku. Aku tidak berharap orang lain bisa memahamiku. Tidak lagi. Karena aku telah sampai pada sebuah konklusi bahwa aku hidup hanya sendiri. Dan akan begitu hingga aku kembali pada pemilikku.
Ya, satu kata saja tak akan mampu menggambarkan betapa rumitnya sebuah hal saja terjadi padaku. Apa yang aku lakukan, dicerna berbeda oleh orang lain. Aku ingin menyerah terkadang. Tapi baru saja akan kulakukan, sesuatu memberontak di dalam diriku. Apa ini? Sebuah pertarungan di dalam pemikiran. Sebuah distorsi kognitif, jika dosenku mengatakan. Kontaminasi yang buruk memasukiku. Mengalienasikan kebaikan dalam diriku. Akhirnya, aku menjadi orang asing. Bukan ‘seperti’ lagi. Karena bahkan ‘telah’. Asing bahkan untuk mengenali diriku sendiri. Asing bahkan untuk memahami orang lain. Inilah klimaks dalam diriku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar